07/11/2025

Program MBG Kurang Persiapan

4 min read

Pakusarakan.com—Forum Dangiang Siliwangi bersama Angkatan Muda Siliwangi (AMS) menggelar diskusi publik dwi-mingguan di Sekretariat AMS pada Selasa (7/10), dengan tema “Ada Apa dengan Program Bergizi Gratis di Jawa Barat?”. Diskusi ini menjadi ajang pertukaran gagasan dan kritik konstruktif terhadap pelaksanaan Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang mulai dijalankan pada awal tahun 2025.

Dalam pemaparannya, H. Maulana Yusuf Erwinsyah, anggota Komisi V DPRD Provinsi Jawa Barat yang menjadi salah satu narasumber, menyoroti bahwa pelaksanaan MBG di Indonesia masih sangat terpusat dan belum memberikan ruang partisipasi yang cukup bagi pemerintah daerah. Ia menyebut, ‘Program ini terkesan sebagai urusan pemerintahan absolut ketujuh,’ menambah enam urusan absolut yang telah diatur dalam sistem pemerintahan Indonesia. Menurutnya, karena sifatnya yang sangat sentralistik, peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah menjadi kunci dalam memastikan pelaksanaan di lapangan berjalan efektif.

Baca juga:Jumlah Penduduk Besar Bukan Penyebab Tingginya Pengangguran di Jabar

Maulana juga membandingkan pelaksanaan program serupa di sejumlah negara Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, Filipina, dan Kamboja, serta negara maju seperti Finlandia. “Finlandia membutuhkan waktu lebih dari lima tahun untuk menyiapkan dasar hukum, teknis, dan kesiapan masyarakat sebelum meluncurkan makan siang gratis di sekolah,” terangnya. Ia menambahkan bahwa keberhasilan Finlandia berangkat dari kepercayaan (trust) dan partisipasi berbagai pihak, bukan semata-mata dari kebijakan pemerintah pusat.

Berbeda dengan itu, Indonesia meluncurkan MBG hanya dalam waktu tiga bulan setelah pelantikan Presiden Prabowo Subianto pada 20 Oktober 2024. “Kondisi ini ibarat membuat perahu sambil menaikinya,” ujar Maulana. Kurangnya waktu persiapan, lanjutnya, menyebabkan banyak kekurangan dalam aspek teknis, regulasi, dan koordinasi antar-instansi.

Ia menegaskan bahwa program MBG tidak cukup hanya dilihat sebagai urusan penyediaan makanan. “MBG bukan hanya urusan perut, tapi juga tentang pendidikan, tanggung jawab, dan pembentukan budaya hidup sehat,” ujarnya. Menurut catatan yang dipaparkan, Finlandia bahkan melatih anak-anak tentang tata krama makan dan tanggung jawab sosial melalui program serupa.

Dari sisi regulasi, ia menyoroti bahwa kerangka hukum MBG masih terbatas pada aturan internal Badan Gizi Nasional (BGN). Beberapa peraturan seperti Peraturan BGN Nomor 1 Tahun 2024 hingga Nomor 4 Tahun 2025 baru mengatur aspek internal organisasi dan tata kerja, belum mencakup mekanisme pelaksanaan di daerah. “Artinya, regulasi yang ada belum cukup kuat untuk menjamin keberlanjutan dan akuntabilitas pelaksanaan di lapangan,” tegasnya.

Kritik konstruktif lain disampaikan Guru Besar Bidang Ilmu Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Masyarakat Unpad, Prof. Deni Kurniadi Sunjaya, yang menyebut persiapan untuk menjalankan program pemberian Makanan Bergizi Gratis (MBG) ini masih belum matang dan banyak terdapat kekurangan. Meski demikian, ia sepakat agar program MBG ini tetap dilanjutkan karena sangat diperlukan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan gizi. Ia juga mendorong pemerintah untuk melakukan evaluasi pelaksanaan MBG agar bisa berjalan lebih baik.

Setidaknya, ada sembilan reorientasi MBG yang disampaikan oleh Prof. Deni, mulai dari bagaimana pemerintah bersungguh-sungguh melaksanakan program MBG hingga penetapan sasaran dan pengelolaan yang transparan dan tepat.

Sementara itu, Kepala Sekolah SMAN 1 Padalarang Kabupaten Bandung Barat sekaligus Ketua MKSS SMA KBB, Lina S.Pd., MT, sepakat bahwa program MBG yang diinisiasi Presiden Prabowo ini harus terus berjalan karena banyak siswa di KBB yang membutuhkan program tersebut, termasuk di sekolahnya. ‘Tentu, masih banyak sekali anak-anak yang sangat membutuhkan di KBB, apalagi anak-anak di sekolah saya. Ada anak yang kadang menanyakan, masih ada tidak makanannya karena ingin dua kali,’ katanya.

Dalam kesempatan yang sama Rully Alfiady, Pj. Ketum AMS, menilai MBG adalah program strategis yang harus didukung oleh masyarakat.

“Terkait terjadinya masalah akhir-akhir ini, hal tersebut wajar terjadi, bukan berarti mengecilkan masalah, tetapi—sebagai program baru— dalam tataran teknis pasti memerlukan waktu untuk mencari format yang tepat dan efektif,” ujarnya.

Mengingat tujuan dan manfaatnya, Rully mengajak semua stake holder sama-sama evaluasi hal-hal apa yang perlu dilakukan agar program ini benar-benar efektif dan memberi manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat dalam jangka pendek dan panjang.

Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof. Keri Lestari, menjelaskan bahwa sejak akhir Agustus 2025, Badan Gizi Nasional (BGN) telah melakukan sejumlah perbaikan dan penataan dalam penyelenggaraan program Makanan Bergizi Gratis (MBG). Perbaikan tersebut dilakukan dengan membangun alur teknis yang lebih sistematis serta menerapkan sistem penilaian berbasis skor (scoring) sebagai indikator evaluasi.

“Jika nilai atau skor penyelenggara kurang dari 80, maka pelaksanaannya akan dihentikan,” jelasnya.

Prof. Keri juga menambahkan bahwa MBG memiliki potensi besar sebagai daya ungkit ekonomi melalui penyerapan bahan makanan dari rantai pasok (supply chain) yang sehat dan efisien. Dengan keterlibatan petani, pelaku UMKM, dan sektor logistik, program ini diharapkan dapat menciptakan efek berganda (multiplier effect) bagi perekonomian daerah.

Baca juga: FORGAKI: Koperasi Bukan Alat Elite!

Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa target capaian MBG secara nasional adalah menjangkau sekitar 91 juta jiwa penerima manfaat. Namun hingga saat ini, baru sekitar 21 juta jiwa yang telah terlayani. Menurutnya, angka tersebut menunjukkan bahwa upaya pemerintah masih terus berproses dan membutuhkan dukungan semua pihak agar sasaran program dapat tercapai secara optimal.

Prof. Keri Lestari menegaskan bahwa keberhasilan mitigasi risiko kejadian keracunan dalam program Makanan Bergizi Gratis (MBG) bergantung pada sistem yang terstandarisasi, sumber daya manusia (SDM) yang terlatih, dan pengawasan yang berkelanjutan.

“Dengan menerapkan langkah-langkah di atas secara konsisten dan disiplin, program yang baik ini dapat berjalan dengan aman dan memberikan manfaat optimal tanpa menimbulkan bahaya baru bagi kesehatan anak-anak Indonesia,” pungkasnya. (Ipur)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *