Kobarkan Api Kebangkitan Nasional, Bukan Abunya
4 min read
Pernyataan Penafian:
Seluruh isi, pendapat, dan pandangan yang tertuang dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab dan pemikiran pribadi penulis. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mewakili atau mencerminkan sikap, pendirian, maupun kebijakan resmi dari redaksi Pakusarakan.com atau organisasi AMS.
Oleh: Rhesa Anggara Utama *)
Salam Pakusarakan!
Pamugi urang sadaya tetep aya dina ginulur karahayuan. Miindung ka waktu, Mibapa ka zaman!
Peristiwa bersejarah bangsa Indonesia yang diperingati setiap tanggal 20 Mei dengan terminologi Kebangkitan Nasional merupakan salah satu momentum fundamental bangsa Indonesia.
“Ceuk kolot mah nyaeta lalakon bangsa” serta babak awal penanda bangkitnya kesadaran kolektif yang gandrung akan kemerdekaannya untuk membebaskan diri dari cengkeraman praktek kolonialisme melalui imperialisme sebagai keturunannya kapitalisme.
Biarlah sejarah mencatat peristiwa tersebut. Terus tersimpan dalam ingatan setiap manusia Indonesia dan menjadi sumber inspirasi, tenaga penggerak dalam perjuangannya, agar terus menerus berupaya mewujudkan tatanan kehidupan yang lebih baik dari waktu ke waktu; saat ini dan ke depan.
Ada pepatah Sunda yang mengatakan “Hana Nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke” yang artinya ‘ada dahulu ada sekarang, tidak ada dahulu tidak ada sekarang’. Indonesia hari ini merupakan hasil dari apa yang terjadi di masa lalu; jika tidak ada masa lalu maka tidak ada masa kini.
Seperti kita tahu, ajaran ilmu sosial mengenai materialisme dialektika historis melihat bahwa perkembangan dan pertumbuhan masyarakat di seluruh dunia sejalan dengan hukum evolusi. Sebagai suatu gerak hukum alamiah. Adanya pertentangan— kontradiksi antara golongan tertindas melawan golongan penindas— adalah salah satu variabel keharusan sejarah yang pada titik puncaknya akan melahirkan suatu keadaan: fase perkembangan masyarakat berikutnya.
Fakta sejarah mencatat gerak laju perkembangan masyarakat terjadi secara bertahap. Mulai dari babak karakteristik masyarakat basic communal tahap awal, berganti dengan karakteristik feodal, kemudian berganti menjadi masyarakat yang bersendikan pada praktek kapitalisme.
Hipotesis akhir dari sejarah ialah karakteristik masyarakat sosialis sebagai kelanjutan dari perkembangan gerak laju masyarakat yang pasti terjadi.
Dasar pemikiran tersebut, tentunya, ditopang oleh argumentasi ilmiah. Berangkat dari analisis awal mengenai keharusan sejarah. Salah satunya melalui variabel adanya pertentangan sebagai bentuk perlawanan dari golongan tertindas yang menghendaki perubahan ke arah pembebasan karena adanya praktek penindasan.
Penghisapan dalam berbagai aspek kehidupan—terutama penguasaan sumber-sumber ekonomi oleh golongan tertentu— diperparah dengan sikap yang egoistik: mementingkan nasibnya sendiri, tanpa mempedulikan kenyataan kemiskinan, kemelaratan, dan seterusnya.
Penulis memandang bahwa pertentangan bukanlah satu-satunya variabel dalam proses evolusi perkembangan— yaitu, pertumbuhan masyarakat—tetapi, setidaknya, dapat berperan seperti seorang bidan yang membantu proses kelahiran sang bayi.
Hal yang sangat fundamental, 20 Mei bagi bangsa Indonesia saat ini— dari seluruh putera-puteri, kaum nasionalis, sosialis, tradisional, agama, dan lain-lain — dalam sudut pandang penulis, adalah keharusan melanjutkan, melaksanakan kewajiban, tanggung jawab, serta tugas sejarah dalam memperjuangkan dan menyempurnakan kemerdekaan 100% agar perayaan kebangkitan nasional benar-benar meresap di relung jiwa terdalam; bukan kosmetik dalam narasi-narasi gegap gempita yang bersifat seremonial, melainkan harus menjadi api yang berkobar menyala dalam setiap dada dengan mengerahkan segala daya upaya.
Pandangan tersebut berangkat dari pengamatan pribadi melihat kenyataan bahwa kondisi objektif kehidupan berbangsa dan bernegara, hingga saat ini, menyadarkan bahwa kita semua belum secara optimal diisi dan dimanfaatkan untuk mewujudkan kesejahteraan kolektif yang berlandaskan pada nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga kemiskinan, meluasnya pengangguran, kriminalitas, ketimpangan pembangunan, dan sebagainya, masih terjadi.
Penulis tegaskan, secara ideal, memaknai Kebangkitan Nasional—dalam pengertian dan pemahaman yang luas— tidak hanya sebatas memaknai bahwa kita merasa puas atas pengakuan kedaulatan secara teritori dari masyarakat dunia untuk mengatur, mengurus, dan menentukan perjalanan nasib bangsa sendiri dengan didirikannya sebuah negara yang, secara otomatis, dapat membentuk pemerintahannya. Akan tetapi, Kebangkitan nasional tentunya harus mewujud pada seluruh aspek kehidupan.
Urgensi menggelorakan api spirit Kebangkitan Nasional, bukan abunya, adalah berarti: pembebasan umat manusia—termasuk bangsa Indonesia— agar terbebas dari segala belenggu ketertindasan, kesulitan kehidupan di segala lapangan, secara total. Sehingga, kita tidak hanya merdeka secara politik tetapi juga secara ekonomi dan sosial di seluruh lapangan kehidupan lainnya. Sehingga, akhirnya, kita memiliki hati merdeka yang teraktualisasikan dalam kehidupan kolektif umat manusia.
Pelajaran lainnya, berdasarkan pembacaan secara kontekstual bahwa Kebangkitan Nasional bukanlah akhir dari tujuan dan tugas sejarah. Kebangkitan Nasional merupakan jalan dengan berjuta-juta peluang besar—yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh komponen bangsa— untuk mewujudkan kebahagiaan manusia seutuhnya: dari satu untuk semua, dari semua untuk semua melalui amal Gotong Royong.
Telah sampailah pada akhir tulisan ini. Penulis hendak mengajak kepada semua pihak, di mana pun berada, agar, mulai detik ini, menyadari arti penting api Kebangkitan Nasional; yang memiliki makna mendalam secara intelektual, maupun spiritual.
Abunya Kebangkitan Nasional tidak akan memberi sedikitpun tenaga penggerak dalam perjuangan kita, tetapi, dengan apinya, kita akan terus hidup sebagai bangsa yang tidak akan pernah berhenti untuk berjuang menuju masa depan yang lebih baik.
Rahayu Sagung Dumadi!
*) Penulis adalah mantan Ketua Umum BPP IMA-AMS