22/06/2025

”Indung Ngasuh, Bapa Asuh”: Menghidupkan Seni Budaya sebagai Atraksi Wisata Berkelanjutan

4 min read

Pernyataan Penafian:

‎Seluruh isi, pendapat, dan pandangan yang tertuang dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab dan pemikiran pribadi penulis. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mewakili atau mencerminkan sikap, pendirian, maupun kebijakan resmi dari redaksi Pakusarakan.com atau organisasi AMS.

 

 

Oleh: Kunkun Kurniawan, S.IP, M.Par. *)

Kegundahan tergerusnya eksistensi seni dan tradisi sebagai penciri budaya lokal menjadi sinyal untuk melakukan langkah antisipatif. Berbagai kebijakan dan implementasi telah dilakukan sejumlah pemangku kepentingan untuk merespons kondisi ini.

Pertanyaannya adalah apakah sudah berjalan secara berkelanjutan? Perihal ini memberikan ruang diskusi untuk merespons keterancaman eksistensi seni dan budaya sebagai ciri budaya lokal terutama apabila dikaitkan dengan potensinya sebagai atraksi dalam pariwisata.

Baca juga:

Balai Pelestarian Kebudayaan Siap Bekerja Sama dengan AMS dalam Melestarikan Pencak Silat sebagai Budaya Nasional

Jawa Barat dikenal sebagai salah satu wilayah yang memiliki keragaman seni dan budaya. Seni tradisional yang didominasi oleh tradisi sunda menjadi unggulan dan daya tarik dalam pariwisata. Berbagai bentuk seni tradisional sering dipentaskan dalam upacara adat atau festival secara khusus; misalnya, tari jaipong, angklung , wayang golek dan pencak silat. Selain yang sudah populer, tentunya masih banyak potensi seni dan budaya yang belum dioptimalisasi. Hal ini menjadi bagian penting untuk terus diidentifikasi dan dirumuskan ke dalam perencanaan pengembangan seni dan budaya sebagai atraksi dalam pariwisata.

Salah satu komponen penting untuk membangun destinasi wisata adalah daya tarik budaya. Daya tarik budaya mengacu kepada pemanfaatan elemen budaya untuk menarik perhatian, membentuk hubungan emosional serta tindakan untuk meningkatkan nilai produk, layanan, dan pengalaman. Selanjutnya, seni dan budaya dapat berperan sebagai alat pengembangan perkotaan atau wilayah untuk mengeksplorasi norma yang hidup di tengah masyarakat serta memberikan ruang partisipasi bagi warga agar terlibat dalam perencanaan budaya (Markusen & Gadwa, 2010).

Perencanaan budaya bertujuan untuk merumuskan kebijakan dan menciptakan sikap profesional yang berperan dalam pembinaan kegiatan seni dan budaya. Perencanaan akan efektif bila atraksi budaya yang tersedia mampu menjawab permintaan wisatawan. Efeknya adalah dapat menghidupkan aktivitas perkotaan atau wilayah melalui peningkatan kunjungan wisatawan. Keadaan ini, secara langsung maupun tidak langsung, berdampak bagi peningkatan kesejahteraan para pelaku maupun ekosistem yang terkait dengan aktivitas seni dan budaya. Sekaligus juga ikut melestarikan eksistensi seni dan budaya dari gerusan budaya global yang semakin melokal. Kondisi ini sejalan dengan pengembangan pariwisata berkelanjutan yang sinergis dan kolaboratif.

Baca juga:

UNPAD Resmikan Pusat Budaya Sunda dan Luncurkan Majalah Mangle

Dari perspektif permintaan pasar, karakteristik wisatawan yang tertarik mengonsumsi wisata budaya, secara empiris, memiliki keterkaitan dengan status sosial ekonomi dan latar belakang pendidikan. Penelitian terdahulu menyatakan wisatawan budaya digambarkan sebagai orang dewasa, kaya, berpendidikan tinggi, dan perempuan (Craik, 1997; Urry, 1990). Namun demikian, selanjutnya segmen wisata budaya mengalami perkembangan seiring dengan munculnya fenomena gen Z.

Wisata budaya yang dilakukan oleh gen Z lebih bertujuan untuk mencari pengalaman yang kreatif, otentik, dan seringkali melibatkan teknologi, serta memiliki motivasi dan preferensi yang berbeda dibandingkan generasi sebelumnya.

 

Pengembangan atraksi seni dan budaya sebagai daya tarik pariwisata berkelanjutan.

Pengembangan seni tradisional sebagai atraksi wisata tidak sekedar meningkatkan fasilitas, aksesibilitas, tetapi juga dukungan politis melalui penguatan kebijakan yang berpihak kepada para pelaku budaya dan proses pembinaannya. Pelaku yang menghidupkan seni dan budaya lokal ini perlu mendapatkan perhatian sepenuhnya dari pemangku kepentingan terkait.

Di beberapa tempat, apresiasi kepada pelaku seni dan budaya dialokasikan dari pajak yang dikenakan kepada wisatawan asing meskipun penerapan pajak terhadap wisatawan asing masih belum dapat dibuktikan keefektifannya. Dengan demikian, perlu dipikirkan sumber lain yang tidak hanya bertumpu kepada sektor pajak dan retribusi dari wisatawan.

Struktur kelembagaan dan aliran pendanaan yang digunakan pemerintah daerah dalam perencanaan budaya sangat bervariasi di beberapa wilayah. Skala prioritas pembangunan, bisa saja, menempatkan seni dan budaya pada posisi yang dimarginalkan dari aspek pendanaan. Sepatutnyalah kedua aspek tersebut menjadi bagian penting yang berperan dalam meningkatkan industri kreatif; menampilkan keragaman kehidupan sosial, dan memperkuat identitas budaya.

Implementasi indung ngasuh diwujudkan dalam perencanaan kebijakan yang berpihak kepada: peningkatan anggaran sektor seni dan budaya; program pendampingan untuk melakukan regenerasi pelaku seni dan budaya; integrasi kurikulum pendidikan seni dan budaya; mendorong pengembangan kreativitas tanpa menghilangkan unsur keotentikannya;  serta mengadopsi pemanfaatan teknologi untuk digitalisasi dan promosi inovatif. Hal ini perlu dilakukan untuk mendekatkan seni dan budaya kepada wisatawan di kalangan gen Z. Peran ini melibatkan pemangku kepentingan dari lembaga pendidikan formal, informal serta komunitas di dalam masyarakat. Secara filosofis, indung ngasuh merujuk kepada aspek pendidikan yaitu harmonisasi seni dan budaya dengan lingkungan yang sarat dengan kearifan lokal.

Selanjutnya, peran bapa asuh lebih fokus kepada menyiapkan infrastruktur fasilitas, destinasi, dan promosi untuk menampilkan karya seni yang atraktif dan inspiratif, serta apresiasi terhadap para pelaku seni dan budaya. Pemanfaatan ruang publik untuk memamerkan seni dan budaya sebagai atraksi wisata menjadi fokus utama bapa asuh sehingga berdampak kepada peningkatan kunjungan wisatawan.

Bentuk dukungan, di sisi lain, dapat diwujudkan ke dalam pendanaan untuk membiayai kegiatan, program maupun proyek dalam pengembangan seni dan budaya, serta merealisasikan insentif untuk pelaku seni dan budaya. Skema dukungan pendanaan bersumber dari kolaborasi penguasa dan pengusaha yang dilakukan secara transparan dan akuntabel.

Wujud hidupnya seni dan budaya sebagai atraksi wisata berkelanjutan dapat ditinjau dari peningkatan kesejahteraan para pelaku seni dan budaya— termasuk komponen pendukung yang terlibat di dalamnya. Kemudian, kualitas sosial di dalam masyarakat yang semakin inklusif serta kegiatan seni dan budaya yang berdampak kepada usaha yang mendukung kelestarian lingkungan. Tujuan akhirnya adalah menjadikan seni budaya Jawa Barat bukan sekadar daya tarik lokal, melainkan ikon wisata berkelas dunia yang berpijak pada nilai-nilai kearifan lokal. (Editor: Ipur)

 

*) Penulis adalah dosen program studi Manajemen Pariwisata di Sekolah Tinggi Pariwisata ARS Internasional, Bandung

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *