GPS Gelang untuk Pendaki: Usulan Realistis dari AMS Rescue

Pakusarakan.com, Bandung — Insiden tragis meninggalnya Juliana Marins, wisatawan asal Brasil, saat mendaki Gunung Rinjani telah menjadi sorotan nasional dan internasional. Kejadian ini menggarisbawahi betapa krusialnya persiapan matang dalam mendaki gunung, kesiapan pengelola wisata dalam mengantisipasi hal yang tidak diinginkan, serta kelengkapan peralatan evakuasi. Temuan jenazah Juliana Marins empat hari setelah insiden jatuh menunjukkan adanya celah dalam sistem pencarian dan penyelamatan saat ini.

Peristiwa ini membuka mata kita semua bahwa keselamatan dalam aktivitas pendakian masih jauh dari ideal. Di tengah kabar viral ini, muncul satu gagasan yang layak mendapat perhatian lebih luas—yakni usulan dari AMS Rescue Distrik Kabupaten Bandung Barat.

Budiawan, Ketua Formatur AMS Rescue distrik tersebut, menyuarakan pentingnya inovasi teknologi yang aplikatif untuk meminimalisir risiko kehilangan orang dalam aktivitas pendakian. Ia mengusulkan pemanfaatan gelang dengan tag GPS, sebagai perangkat pelacak posisi pendaki secara real-time. Ide ini bukan sekadar fantasi futuristik.

“Teknologi semacam ini sebenarnya sudah tersedia dan teruji dalam perangkat seperti smartwatch atau aplikasi pelacak smartphone,” ujarnya. “Yang dibutuhkan tinggal pengembangan spesifik dan integrasi dengan sistem evakuasi di kawasan wisata alam.”

“Sebagaimana jika kita kehilangan handphone, kita bisa mengetahui posisi terakhirnya, apalagi jika perangkat itu terhubung ke jaringan. Prinsip ini bisa kita adaptasi,” ujar Novan Rianto, rekan diskusi Budiawan dalam pengembangan ide ini.

Gagasan ini perlu disambut oleh semua pemangku kepentingan—pengelola taman nasional, pelaku industri wisata, hingga pemerintah daerah. Ini bukan hanya soal alat pelacak, tetapi juga soal tanggung jawab kolektif dalam membangun sistem mitigasi yang andal dan responsif.

Jika ada satu hal yang bisa kita petik dari tragedi ini, maka itu adalah urgensi untuk berubah. Pendakian adalah aktivitas yang mengandung risiko, tetapi risiko itu bisa dikendalikan. Melalui teknologi yang tepat, tata kelola yang terkoordinasi, dan kesadaran bersama, keselamatan pendaki tidak lagi menjadi sekadar nasib. (Ipur)