01/07/2025

Eforia 100 Hari Dedi Mulyadi: Antara Pesona, Kultus, dan Ketimpangan

3 min read

Pakusarakan.com— Seratus hari pertama masa jabatan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, telah menarik perhatian luas publik. Dari ruang maya hingga dunia nyata, nama “Kang Dedi” mendominasi percakapan. Namun di balik pujian dan viralitasnya, sejumlah pengamat dan aktivis mulai menyuarakan kritik tajam. Mereka menilai gaya kepemimpinan Dedi mengandung paradoks antara kedekatan simbolik dengan rakyat dan absennya perubahan struktural yang berarti.

Salah satu suara kritis datang dari Rhesa Anggara, seorang pengamat sosial. Ia menyoroti gejala “pengkultusan” terhadap Dedi Mulyadi yang semakin menguat.

“Gaya komunikatif dan citra ‘ngabumi‘ Kang Dedi memang menarik simpati,” kata Rhesa, “namun ketika pujian berubah menjadi kultus, muncul bahaya pembungkaman kritik.”

Menurutnya, politik yang sehat justru ditandai dengan keterbukaan terhadap evaluasi dan koreksi, bukan dengan fanatisme personal yang menutup ruang kritis.

Ia memperingatkan bahwa fenomena ini bisa membahayakan demokrasi partisipatif. Ketika masyarakat sibuk memuja tokoh, akuntabilitas publik menjadi kabur.

“Kang Dedi bisa saja punya niat baik, tapi ketika rakyat lebih sibuk memuja daripada mengawasi, ruang koreksi publik perlahan menghilang dan itu bahaya untuk siapa pun yang ingin perubahan,” ujar Rhesa.

Kritik lain datang dari Budiana Irmawan, pengamat kebijakan publik, yang mengaitkan fenomena Dedi Mulyadi dengan konsep “masyarakat tontonan” dari filsuf Prancis, Guy Debord. Budiana menyebutkan bahwa masyarakat hari ini terlalu mudah terseret oleh pencitraan yang dibentuk melalui media sosial.

Ia menilai, “Politik sebagai urusan kebaikan bersama (common good) telah dicerabut menjadi res-privata atau urusan personal elite semata.”

Budiana juga menggarisbawahi bahwa monetisasi konten media sosial oleh seorang pejabat publik menimbulkan dilema etik. Menurutnya, walaupun belum ada aturan spesifik yang melarang pejabat publik memperoleh penghasilan dari platform seperti YouTube atau TikTok, aspek kepatutan tetap harus dijunjung.

“Rasanya tidak etis pejabat publik memperoleh pendapatan di luar kewenangan posisi jabatannya,” kritiknya. Apalagi bila tujuan utama konten tersebut bukan transparansi kebijakan, melainkan branding personal yang mendulang simpati dan uang sekaligus.

Ia mengingatkan bahwa seorang pejabat publik tidak bisa sekadar menampilkan sikap egaliter atau membagikan bantuan sosial dengan dalih belas kasihan.

Pemerintah memiliki kewajiban institusional untuk menyusun program afirmatif berbasis regulasi, bukan sekadar aksi karitatif personal (bantuan sosial yang diberikan atas inisiatif pribadi, red.) yang viral.

Lebih jauh, Budiana menyayangkan jika Kang Dedi larut dalam eforia dan menanggapi kritik dengan arogansi. “Kalau KDM mengabaikan kritisisme dan malah larut dengan eforia mentalitas kerumunan, sebetulnya ia korban dari ilusi politik panggung,” jelasnya.

Ia menutup dengan peringatan tajam: jangan sampai kita hanya menjadi “masyarakat tontonan” yang silau oleh pesona, namun lupa pada substansi kepemimpinan.

Sementara itu, Budiawan, SH., Wakil Sekretaris Distrik AMS Kabupaten Bandung Barat, menyoroti ketimpangan antara ide dan tindakan nyata dalam 100 hari kerja pertama Dedi Mulyadi. “Terasa sekali ketimpangan di berbagai sektor—pendidikan, ekonomi, kesehatan, infrastruktur. Seakan-akan Jawa Barat ini hanya milik Kang Dedi,” keluhnya.

Menurut Budiawan, dominasi Dedi Mulyadi dalam pemberitaan dan program kerja justru menutupi kiprah 27 bupati/walikota di provinsi ini. Kebijakan-kebijakan yang digagas oleh kepala daerah kabupaten/kota cenderung tidak mendapatkan ruang untuk berkembang. Akibatnya, banyak kepala daerah yang perannya sebatas “pejabat gunting pita,” alias hanya hadir untuk meresmikan program yang sejatinya sudah dirancang oleh pendahulunya.

Padahal, Jawa Barat memiliki sumber daya yang sangat kaya di berbagai sektor: dari pertanian dan perkebunan hingga pariwisata dan industri.

“Setiap daerah punya potensi besar yang bisa memberikan dampak langsung ke masyarakat,” ujarnya. Sayangnya, potensi ini belum tergarap maksimal karena terlalu terpusatnya perhatian pada figur Gubernur.

Budiawan menegaskan bahwa 100 hari pertama ini merupakan momen penting untuk menilai kualitas hasil Pilkada. Apakah pemimpin yang terpilih benar-benar mencerminkan harapan pemilih, atau hanya kemenangan akibat popularitas?

“Kami, warga Jawa Barat, mengharapkan pemimpin yang bisa memajukan setiap daerah, bukan hanya memperkuat citra personal,” pungkasnya.

Ringkasnya, meskipun Dedi Mulyadi mendapat simpati luas karena pendekatannya yang populis dan dekat dengan rakyat, ada kekhawatiran serius terhadap arah dan cara kepemimpinannya.

Di tengah eforia, muncul pertanyaan mendasar: Apakah Jawa Barat sedang dipimpin oleh seorang negarawan yang menguatkan struktur dan partisipasi, atau oleh seorang bintang panggung yang memukau namun belum tentu membangun? (Ipur)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *