12/08/2025

Warung Rakyat Runtuh, Restoran Megah Tumbuh

2 min read

Pernyataan Penafian:

‎Seluruh isi, pendapat, dan pandangan yang tertuang dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab dan pemikiran pribadi penulis. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mewakili atau mencerminkan sikap, pendirian, maupun kebijakan resmi dari redaksi Pakusarakan.com atau organisasi AMS.

 

Oleh: Moch. Ryan Ibrahim *)

Bagi banyak orang, perjalanan menuju Gunung Tangkuban Perahu bukan sekadar urusan menaklukkan puncak. Di sepanjang jalannya, deretan kios dan warung sederhana menjadi tempat singgah yang penuh cerita. Di sana, wisatawan beristirahat sejenak, menyeruput kopi hangat di udara dingin pegunungan, membeli oleh-oleh khas, atau sekadar bercakap akrab dengan pedagang ramah.

Tempat-tempat itu adalah denyut nadi ekonomi warga lokal sekaligus bagian dari kenangan ribuan wisatawan. Murah, hangat, dan sederhana—tetapi tak tergantikan.

Baca juga: Menjaga Integritas Politik: Pentingnya Prinsip “Pacta Sunt Servanda” Menjelang Pilkada Serentak

Namun, pemandangan itu kini berubah. Deretan kios dan warung rakyat dibongkar dalam program penertiban kawasan. Jalan memang menjadi lebih lapang, tetapi bagi warga, yang hilang bukan sekadar bangunan, melainkan sumber penghidupan. Bagi wisatawan, yang lenyap adalah salah satu daya tarik wisata rakyat: ruang pertemuan lintas latar belakang, tanpa harus merogoh kocek dalam.

Ironisnya, hanya beberapa ratus meter dari lokasi pembongkaran, berdiri megah sebuah restoran luas di atas lahan Perhutani—yang dulunya merupakan kebun teh produktif dan bagian dari ekosistem alam. Perubahan fungsi lahan ini berpotensi merusak keseimbangan lingkungan, mengurangi resapan air, dan mengikis identitas kawasan sebagai sentra agrowisata.

Baca juga: Kobarkan Api Kebangkitan Nasional, Bukan Abunya

Ketidakkonsistenan ini mengusik rasa keadilan. Jika penataan kawasan wisata bertujuan menjaga keindahan dan kelestarian alam, mengapa yang tergusur justru kios kecil yang sebagian besar dibangun secara sederhana? Mengapa bangunan besar, yang jelas lebih mengubah lanskap dan berpotensi merusak ekologi, justru berdiri tanpa hambatan?

Kami mendesak pemerintah bersikap adil, transparan, dan konsisten. Pemberdayaan warga lokal seharusnya menjadi prioritas, bukan korban. Penataan kawasan wisata harus berlandaskan prinsip keberpihakan pada masyarakat kecil.

Jika kita benar-benar peduli pada kelestarian lingkungan, hilangnya lahan kebun teh akibat pembangunan restoran besar jelas lebih signifikan dampaknya ketimbang keberadaan deretan kios rakyat. Dari sisi estetika maupun ekologi, kerusakan akibat bangunan skala besar jauh lebih merusak lanskap alam.

Penegakan aturan tata ruang harus berlaku tanpa pandang bulu. Pemerintah mesti berani menindak semua pelanggaran, sekecil atau sebesar apa pun, demi menjaga keseimbangan antara kelestarian alam dan keberlangsungan ekonomi warga.

 

 

*) Penulis adalah Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Ikatan Mahasiswa AMS (BPP IMA-AMS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *