05/12/2025

Urgensi Reformasi Polri

2 min read

Pernyataan Penafian:

‎Seluruh isi, pendapat, dan pandangan yang tertuang dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab dan pemikiran pribadi penulis. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mewakili atau mencerminkan sikap, pendirian, maupun kebijakan resmi dari redaksi Pakusarakan.com atau organisasi AMS.

 

Oleh: Budiana Irmawan *)

 

Paradigma kepolisian sesuai dengan UU No. 2 Tahun 2002 yang memosisikan sistem sentralistik (Centralized System of Policing) perlu diubah agar relevan dengan asas keterbukaan dan profesionalitas.

Jika kita menengok kembali tuntutan reformasi TNI dan Polri, pemisahan Polri dari TNI sebetulnya baru merupakan langkah awal reformasi kepolisian.

Berdirinya Polri sebagai institusi mandiri menandai bahwa kepolisian adalah aparatur sipil. Kendati memiliki kewenangan memegang senjata, senjata tersebut seharusnya hanya digunakan untuk tindakan preventif dan preemtif, bukan dengan intensi membunuh pihak yang dianggap musuh.

Baca juga: Eforia 100 Hari Dedi Mulyadi: Antara Pesona, Kultus, dan Ketimpangan

Sejarah kelam dwi-fungsi ABRI pada masa Orde Baru menjadi pelajaran berharga. Kini TNI relatif sudah menjaga jarak dari kepentingan politik praktis sejalan dengan UU No. 34 Tahun 2004.

Konsistensi TNI ini hendaknya juga diikuti oleh Polri. Oleh karena itu, reformasi Polri pada fase berikutnya perlu difokuskan pada penataan kelembagaan kepolisian.

Baca juga: AMS Jalin Silaturahmi Historis dengan Kodam Siliwangi

Struktur kelembagaan kepolisian yang sangat sentralistik tak ubahnya seperti TNI, padahal polisi bukan kombatan. Berbeda dengan TNI yang memang bertugas berdasarkan garis komando, fungsi polisi adalah menegakkan hukum berdasarkan fakta hukum sesuai locus delicti.

Jika mengkaji lebih jauh kelembagaan kepolisian, kita dapat membandingkan model Amerika Serikat yang terpisah (Fragmented System of Policing) antara kepolisian federal dan negara bagian, atau model Jepang yang membuka desentralisasi kepada prefektur dengan sistem campuran (Integrated System of Policing).

Model Amerika Serikat memang sulit diterapkan, mengingat bentuk negara federal tidak kompatibel dengan negara kesatuan.

Namun, standar profesionalitas kepolisian di Amerika Serikat patut ditiru. Setiap kota besar memiliki kepolisian bergengsi, misalnya New York Police Department atau Los Angeles Police Department. Begitu pula kepolisian yang menangani kejahatan khusus, seperti DEA (Drug Enforcement Administration, unit pemberantasan kejahatan narkotika, red.) di bawah Departemen Kehakiman dan FBI yang bertanggung jawab kepada Kejaksaan.

Saya berpendapat bahwa kelembagaan kepolisian model Jepang sangat memungkinkan untuk diadaptasi. Di Jepang, polisi prefektur lebih berdaya guna melaksanakan tugas kepolisian di masing-masing wilayah prefektur atau setingkat provinsi.

Polisi pusat (National Police Organization) terdiri dari NPSC (National Public Safety Commission) dan NPA (National Police Agency). NPSC merupakan badan pemerintahan yang bertanggung jawab mengawasi NPA, sedangkan NPA bertugas mengoordinasikan kepolisian prefektur.

Pada titik ini, tepat kiranya dibentuk kementerian keamanan yang bertanggung jawab mengendalikan kepolisian nasional sekaligus memberikan kewenangan luas kepada kepolisian daerah.

Peran Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) Polri dapat diperkuat menjadi badan supervisi penyelenggaraan kepolisian yang serupa dengan NPSC di Jepang.

Poin pentingnya adalah menciptakan efektivitas tugas Polri. Tumpang tindih beban kerja, mulai dari urusan tilang motor bodong hingga penangkapan teroris, bukan hanya mengikis profesionalisme, tetapi juga menimbulkan moral hazard bagi anggota Polri.

Lebih dari itu, sistem kepolisian yang terpusat membuat Polri rentan tergelincir pada bias kepentingan politik kekuasaan.

 

*)Pemerhati kebijakan publik

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *