Kasus Gelar dan Ijazah Palsu di Berbagai Negara
3 min readPakusarakan.com- Gelar akademik masih dianggap bernilai tinggi, baik untuk memenuhi persyaratan formal tertentu maupun sekedar untuk validasi sosial pemegangnya. Kondisi tersebut menjadikan gelar akademik sebagai komoditas dan, seperti lazimnya pasar pada umumnya, ditentukan oleh supply dan demand.
Perdebatan mengenai keabsahan gelar akademik Joko Widodo dan puteranya, Gibran Rakabuming Raka– masing-masing akan mengakhiri jabatan sebagai Presiden dan dilantik sebagai Wakil Presiden RI pada tanggal 20 Oktober ini– serta pemberian gelar Guru Besar kepada Bambang Soesatyo (saat ini menjabat sebagai Ketua MPR) dan Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menjadi puncak gunung es fenomena ini.
Terkini, masyarakat dikejutkan dengan skandal pemberian gelar guru besar di lingkungan Universitas Lambung Mangkurat yang berakibat penurunan akreditasi universitas tertua di Kalimantan tersebut dari akreditasi A menjadi C.
Bermula dari investigasi Majalah Tempo yang menelusuri kejanggalan proses pemberian gelar akademik tertinggi kepada sejumlah tenaga pengajar, politisi dan tokoh publik, hingga berujung pada pencabutan gelar bagi 11 orang dosen ULM dan berkembang menjadi penyelidikan terhadap 50 orang lainnya.
Skandal legalitas gelar dan sertifikat akademik bukan merupakan hal baru dan terjadi tidak hanya di Indonesia.
Berikut adalah beberapa skandal yang sempat mengguncang menara gading di sejumlah negara yang berhasil Pakusarakan.com rangkum dari berbagai sumber daring:
Axact, “pabrik” gelar dan ijazah
Sebuah perusahaan perangkat lunak yang berbasis di Karachi, Pakistan, berhasil meraup $89 juta dollar AS bukan dari penjualan produk terkait IT melainkan dari penjualan ijazah, sertifikat, dan transkrip nilai berbagai jurusan dan keahlian.
Pada 17 Mei 2015, The New York Times, menerbitkan artikel investigatif yang menyebutkan bahwa Axact mengelola 370 situs pendidikan dan lembaga akreditasi, dari mulai pendidikan setingkat SMA hingga perguruan tinggi yang mengeluarkan gelar akademik dan sertifikasi profesi.
Dengan merekrut tidak kurang dari 2.000 karyawan yang diantaranya berperan sebagai alumni dan tenaga pengajar yang memberikan testimoni palsu, perusahaan ini berhasil memerdaya 215.000 orang di 197 negara.
Ashwood University, pabrik ijazah daring
Bagaimana jika Anda menjalani bedah otak yang dilakukan oleh seorang dokter yang tidak pernah mengikuti pendidikan kedokteran? Atau, seorang pelaku kejahatan pedofilia membuka praktek psikologi anak berbekal ijazah dan sertifikat terbitan universitas luar negeri?
Bermula dari rasa penasarannya terhadap sebuah email yang menawarkan gelar akademik dalam beragam bidang keilmuan, Russel Working, seorang jurnalis Chicago Tribune, membujuk editornya untuk bersedia membayar $699 biaya kuliah ditambah $75 lagi untuk mendapatkan IPK 4.0.
Setelah melakukan pembayaran, tanpa pernah sekalipun mengikuti perkuliahan, mengerjakan tugas, atau mempertahankan disertasi, Russel menerima ijazah doktoralnya hanya dalam hitungan minggu.
Setelah berita tersebut terbit, jurnalis lain mencoba membuktikannya dengan mendaftar atas nama Murphy untuk mendapatkan gelar S1 Biologi. Lucunya, Murphy adalah seekor anjing peliharaan sang jurnalis!
Adam Wheeler, diterima di berbagai perguruan tinggi ternama bermodalkan transkrip palsu
Civitas academica Harvard University merasa dipermalukan setelah mendapati salah satu mahasiswanya ternyata mendaftar dengan menggunakan sejumlah dokumen palsu.
Pada tahun 2007, Adam B. Wheeler mendaftar ke Harvard University sebagai mahasiswa tahun ke dua dengan status pindahan dari Massachusetts Institute of Technology (MIT). Kebohongan Wheeler baru terungkap setelah beberapa tahun ia mengikuti perkuliahan. Selama berkuliah di Harvard, dalam resumenya Wheeler mencantumkan telah menerbitkan dua judul buku dan empat judul lainnya bersama seorang profesor jurusan bahasa Inggris di Harvard, mengajar di jurusan Studi Armenia, dan memperoleh nilai sempurna dalam IPK-nya.
Dengan resume fiktif yang mentereng, Wheeler berhasil mendapatkan berbagai penghargaan dan hibah penelitian senilai $40.000.
Wheeler diperkirakan bisa lulus dari Harvard andai ia tidak mengajukan beasiswa bergengsi Rhodes dan Fulbright. Salah seorang anggota tim penilai permohonan beasiswa, W. James Simpson mencurigai kemiripan karya tulis yang diserahkan Wheeler sebagai persyaratan beasiswa dengan karya profesor sejawatnya. Setelah dilakukan penyelidikan, seluruh riwayat akademik Wheeler dari sejak mendaftar terbukti palsu dan Wheeler dipanggil untuk menghadap sidang komisi disiplin. Alih-alih menghadiri persidangan dan membela diri, Wheeler mengakui semua kebohongannya dan mengundurkan diri sebagai mahasiswa Harvard.
Setelah dikeluarkan dari Harvard, Wheeler kembali memalsukan berbagai dokumen untuk mendaftar (dan diterima) di berbagai perguruan tinggi bergengsi lainnya: Universitas Stanford, Yale, dan Brown. Bahkan sempat magang di McLean Hospital.
Kasus-kasus di atas, tentu saja, tidak akan menjadi kasus terakhir dalam pemalsuan gelar dan dokumen akademik selama gelar dan sertifikat akademik menjadi ukuran kapasitas dan gengsi bagi pemiliknya. Menghadapi hal tersebut, pemerintah bersama dengan kalangan perguruan tinggi dituntut untuk selalu memperbaiki prosedur dan mekanisme verifikasi dan validasi dokumen akademik sehingga dapat menjaga reputasi perguruan tinggi dan sistem pendidikan secara umum.* (Ipur)