Patungan untuk Naik Kelas: Solidaritas sebagai Senjata, Kemandirian untuk Kemenangan
2 min read
Pernyataan Penafian:
Seluruh isi, pendapat, dan pandangan yang tertuang dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab dan pemikiran pribadi penulis. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mewakili atau mencerminkan sikap, pendirian, maupun kebijakan resmi dari redaksi Pakusarakan.com atau organisasi AMS.
Oleh: Anton Ferriadi *)
Koperasi sering dianggap usaha kecil yang hanya bergerak di simpan pinjam atau warung desa. Padahal, di banyak negara, koperasi justru menjadi raksasa bisnis dunia. Di Spanyol, Mondragon Corporation mengelola industri manufaktur, ritel, hingga teknologi dengan puluhan ribu pekerja. Di Selandia Baru, Fonterra menguasai hampir sepertiga perdagangan susu dunia. Dari Jepang, Zen-Noh menyalurkan pangan ke seluruh negeri, sementara di Amerika Serikat, CHS Inc. merajai perdagangan gandum dan energi. Bahkan di Kanada, Desjardins Group menjadi salah satu lembaga keuangan terbesar di Amerika Utara.
Baca juga: BUMN: Lokomotif Pembangunan atau Predator Dunia Usaha?
Indonesia pun punya banyak contoh koperasi besar. Kospin Jasa di Pekalongan menjadi raksasa simpan pinjam dengan aset triliunan rupiah. Koperasi Warga Semen Gresik (KWSG) bergerak di properti dan logistik dengan omzet ratusan miliar. Ada juga Koperasi Telekomunikasi Seluler (Kisel) yang menjadi mitra distribusi Telkomsel di seluruh Indonesia.
Menariknya, prinsip koperasi ternyata juga ditemukan di tempat yang tidak terduga: dunia mafia. La Cosa Nostra di Italia, Yakuza di Jepang, hingga kartel narkoba Meksiko, semua menggunakan sistem mirip koperasi—solidaritas anggota, modal bersama, bagi hasil, hingga jaringan organisasi. Bedanya jelas: koperasi mendorong kesejahteraan, mafia mengejar keuntungan kriminal.
Baca juga: Warung Rakyat Runtuh, Restoran Megah Tumbuh
Dari koperasi raksasa dunia hingga mafia, ada satu benang merah: patungan untuk tujuan bersama. Inilah yang sering kita temukan di level paling sederhana, yakni tongkrongan anak muda. Kalau biasanya patungan Rp100 ribu dipakai untuk bersenang-senang, kenapa tidak diarahkan menjadi modal usaha?
Bayangkan sepuluh orang sahabat, masing-masing menyetor Rp100 ribu. Terkumpul Rp1 juta. Modal ini bisa dipakai untuk usaha sederhana seperti warung kopi kecil, jualan gorengan, atau toko online bersama. Dengan sistem koperasi mini, keuntungan dibagi sesuai kontribusi atau diputar lagi sebagai modal. Dari ‘patungan untuk mabok’ bisa berubah menjadi ‘patungan untuk naik kelas.’
Koperasi lahir dari semangat kebersamaan. Sejarah membuktikan, dari desa kecil di Indonesia hingga panggung global, koperasi bisa menjadi motor ekonomi yang dahsyat. Jadi, kalau anak tongkrongan bisa kompak patungan untuk bersenang-senang, mereka juga pasti bisa kompak membangun masa depan bersama.

*) Penulis adalah anggota Pengurus Pusat AMS Bidang Budaya, Kerohanian, dan Olah Raga dan Sekretaris Koperasi Desa Merah Putih Sukamukti, Kab. Bandung.
