BUMN: Lokomotif Pembangunan atau Predator Dunia Usaha?
2 min read
Pernyataan Penafian:
Seluruh isi, pendapat, dan pandangan yang tertuang dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab dan pemikiran pribadi penulis. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mewakili atau mencerminkan sikap, pendirian, maupun kebijakan resmi dari redaksi Pakusarakan.com atau organisasi AMS.
Oleh: Amin Prabu*)
Sejak awal berdirinya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diposisikan sebagai lokomotif pembangunan. Mereka hadir untuk menggerakkan roda ekonomi, menyediakan layanan publik yang vital, serta menjaga kepentingan strategis bangsa. Namun, di balik peran tersebut, ada sisi lain yang semakin disorot: BUMN kerap berubah menjadi predator dunia usaha, dengan ekspansi tak terbendung melalui anak, cucu, hingga cicit perusahaan.
Ketika BUMN masuk ke sektor vital seperti listrik, telekomunikasi, dan minyak serta gas, masyarakat bisa memahaminya. Itu menyangkut hajat hidup orang banyak. Namun, saat BUMN melalui anak-cucunya masuk ke bisnis ritel, hotel, makanan-minuman, bahkan merambah UMKM yang seharusnya menjadi ladang rakyat kecil — inilah wajah baru monopoli. BUMN yang mestinya menjadi lokomotif pembangunan justru tampil sebagai raksasa yang menyingkirkan gerobak kecil di pinggir jalan.
Lebih parah, banyak anak dan cucu perusahaan BUMN justru merugi. Alih-alih ditutup, mereka diselamatkan dengan tambahan modal, fasilitas, atau bailout terselubung. Pada akhirnya, rakyat melalui APBN yang menanggung beban. Pertanyaannya: sampai kapan publik harus menopang perusahaan plat merah yang gemuk tetapi tidak sehat?
UMKM dan swasta nasional berteriak, tetapi siapa yang mendengar? Bagaimana mungkin pedagang lokal bersaing jika lawannya adalah perusahaan berlogo Garuda yang berduit besar dan dilindungi regulasi? Negara yang seharusnya melindungi rakyat kecil justru hadir sebagai pesaing paling menakutkan. Alih-alih membina, BUMN justru membinasakan.
BUMN tidak boleh menjadi kerajaan bisnis yang rakus. Lokomotif pembangunan tidak seharusnya berubah menjadi predator yang memangsa rakyatnya sendiri. Pemerintah harus menjawab tiga pertanyaan mendasar: Apakah BUMN masih menjalankan amanat konstitusi, atau hanya mengejar profit semu? Apakah anak-cucu perusahaan BUMN menciptakan nilai tambah atau sekadar menumpang fasilitas negara? Apakah keberadaan mereka membangun ekonomi rakyat atau justru melemahkannya?
Reformasi BUMN adalah keniscayaan. Rakyat menuntut agar anak-cucu perusahaan yang merugi dan tidak strategis dihapuskan, ruang gerak BUMN dibatasi hanya pada sektor vital, transparansi pengelolaan dana publik dibuka, dan monopoli terselubung dihentikan dengan mendorong kemitraan sejati bersama swasta serta UMKM.
Kini saatnya kita bertanya jujur: apakah BUMN masih menjadi lokomotif yang menggerakkan bangsa menuju kemandirian ekonomi, atau justru predator yang merobek dunia usaha? Sejarah akan mencatat apakah pemerintah berani merombak sistem BUMN agar kembali ke rel konstitusi, atau membiarkan mereka terus melahirkan anak, cucu, hingga cicit perusahaan yang hanya menambah beban negara.
BUMN harus memilih: menjadi pahlawan pembangunan, atau tetap menjadi raksasa rakus yang membebani rakyat.
*)Penulis adalah Ketua AMS.106 Sumatera Barat & Pembina Yayasan Warisan Cinta Nusantara.
